Dari hasil temuan badan pendidikan PBB Unicef (2015), telah menyebutkan hampir setengah dari anggaran pendidikan di negara-negara berpenghasilan rendah, termasuk Indonesia, hanya dinikmati sekitar 10% penduduknya. Hal itu berarti kesempatan mengakses pendidikan bagi anak-anak miskin di negaranegara itu semakin sedikit. Hasil temuan Unicef juga sampai pada kesimpulan bahwa anggaran pendidikan akan lebih banyak dinikmati golongan menengah ke atas. Sekitar 20% murid yang kaya bisa menerima sumber daya umum yang 18 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan 20% murid yang miskin.
Untuk mengantisipasi ketimpangan
pendidikan di negaranegara miskin dan berkembang "termasuk Indonesia"
UNESCO (2015) menyarankan agar investasi dalam pendidikan
didistribusikan secara lebih merata. Dengan kata lain, semua anak didik
harus mendapat kemudahan akses, termasuk yang paling mungkin tertinggal:
anak miskin maupun yang tinggal di perdesaan, perempuan maupun yang
dari kelompok minoritas.
Temuan Unicef semakin diperkuat dengan
data yang dirilis Bank Dunia di penghujung 2015. Bank Dunia mencatat
ketimpangan pendidikan di Indonesia itu dipicu rendahnya angka
partisipasi pendidikan masyarakat dan tingkat pen didikan. Ketimpangan
pendidikan di Indonesia, menurut Bank Dunia, bahkan setara dengan
Uganda, Etiopia, dan beberapa negera miskin di Eropa lainnya.
Seakan menguatkan temuan Becker & Chiswick (1966), Psacharopoulos & Woodhall
(1985), dan Digdowiseiso (2009), ketimpangan pendidikan di Indonesia
juga bertalian erat dengan ketimpangan ekonomi. Bank Dunia menyebut
hanya 1% rumah tangga (sekitar 2,5 juta orang) menguasai lebih dari
50,3% kekayaan Indonesia. Jika asumsi kisaran diperlebar, 10% orang
menguasai 70% kekayaan bumi Indonesia. Ketimpangan di bidang ekonomi itu
jauh di bawah Rusia (1:66,2%), bahkan Thailand yang hanya 1:50,5%
kekayaan nasional.
Akses terbatas
Keterbatasan mengakses pendidikan bagi
orang miskin merupakan problem serius yang belum terselesaikan hingga
akhir 2015. Keterbatasan akses itu tidak hanya di tingkat dasar, tetapi
juga di jenjang yang lebih tinggi. Data Badan Pusat Statistik dan Pusat
Data Statistik Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015)
menyebutkan ada 4,9 juta anak yang tidak tercakup pendidikan. Mereka
tercerabut dari pendidikan karena kemiskinan, tinggal di daerah yang
secara geografis sulit, atau terpaksa bekerja.
Selain itu, jika melihat data Angka
Partisipasi Murni (APM) berdasarkan provinsi pada 2014, akan terlihat
betapa anak-anak yang tinggal di provinsi di Indonesia Timur tertinggal
dari teman-teman mereka di belahan barat Indonesia. Contohnya APM SMP/
MTs sederajat di Papua Barat 63,31%, Gorontalo 70,61%. Bandingkan dengan
APM pada jenjang pendidikan serupa yang tertinggi di DKI Jakarta,
95,55%, Yogyakarta 92,01%.
Orang miskin di Indonesia, menurut data
BPS, belum mengalami penurunan yang signifi kan. Data terbaru BPS (2014)
masih menemukan 28,55 juta penduduk Indonesia masuk kategori miskin.
Orang miskin dalam konteks tertentu, seakan terus dipelihara. Mereka
merupakan komuditas jualan yang laris bagi elite politik negeri ini.
Orang miskin begitu diagung-agungkan, entah dalam pemilu legislatif,
pilpres, pemilihan bupati/wali kota, maupun pemilihan lurah. Kan tetapi,
ketika sang kandidat sudah berhasil meraih kursi kekuasaan, dan proses
politik berakhir, orang miskin kembali pada penderitaan mereka.
Pembatasan yang muaranya pada pembodohan
bagi orang miskin harus diakhiri. Selain membuka akses seluas-luasnya
bagi orang miskin, kata Malik Fadjar (2008), komersialisasi pendidikan
harus segera dihapus dari Indonesia. Alihalih mencerdaskan anak didik,
komersialisasi, lanjut Malik Fadjar, hanya akan menghilangkan roh
pedagogi.
Ketika pendidikan sudah didapat dengan
cara mahal— melalui komersialisasi—akan terbangun karakter mengejar
materi agar modal kembali. Sementara itu, persoalan mengenai hakikat
manusia, akal budim dan humanisasi tidak dilakukan secara afektif,
tetapi sekadar kognitif. Sudah saatnya pemerataan akses pendidikan
dibuka seluas-luasnya bagi semua anak bangsa.
Pemerataan pendidikan meliputi paling
tidak pada persamaan kesempatan, aksesbilitas, dan keadilan atau
kewajaran. Persamaan kesempatan mengandung maksud setiap anak bangsa
memiliki peluang yang sama mengakses pendidikan sebagaimana diatur dalam
UU No 2 /1989; UUD Pasal 30/1945. Aksesbilitas memberikan kesempatan
semua anak bangsa memilih akses pendidikan yang sama, pada semua jenis,
jenjang, dan jalur pendidikan. Mereka yang berasal dari desa memiliki
akses pendidikan yang sama dengan yang tinggal di perkotaan.
Strategi pemerataan pendidikan dalam
arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan merupakan solusi
tepat agar orang miskin bisa sekolah. Pemerataan pendidikan juga
memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan
berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all (Agus Wibowo, 2012).
Indonesia pintar!
Program Indonesia Pintar (PIP) yang
diikuti dengan peluncuran Kartu Indonesia Pintar (KIP) sebenarnya bisa
menjadi solusi tepat mengatasi keterbatasan akses dan ketimpangan
pendidikan. Syaratnya, program itu dilakukan secara efektif dan efisien.
Sebagai program perlindungan sosial di bidang pendidikan, KIP dibuat
untuk memastikan dan menjamin seluruh anak usia sekolah dari keluarga
kurang mampu bisa mengenyam pendidikan.
Ada tiga jenjang pendidikan yang
dilindungi oleh KIP, SD/ sederajat, SMP/sederajat, dan SMA/sederajat.
Setiap tingkatan pendidikan berbeda besaran bantuan biayanya.Pemerintah
bisa menambah jumlah anak yang mendapat bantuan KIP setelah mendapat
kucuran dana tambahan dari pengalihan dana subsidi BBM.
Berdasarkan data Kantor Staf Presiden
(KSP, 2016), PIP telah disalurkan kepada lebih 13 juta siswa (SD-SLTA,
usia 6-21 tahun) dari keluarga kurang mampu, dan membantu siswa untuk
meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya. Pemerintah juga telah
menyalurkan dana BOS (bantuan operasional sekolah) ke lebih dari 45 juta
siswa. Di samping itu, pembangunan sekolah baru, pembangunan ruang
kelas baru, rehabilitasi kelas, dan pembangunan laboratorium serta
perpustakaan terus dilakukan.
Seberapa besar keefektifan PIP sangat
bergantung pada kerja sama semua pihak. Pasalnya, data yang valid sangat
dibutuhkan agar program itu tepat sasaran. Untuk itu, sinergitas
pendataan di daerah mutlak dilakukan, seperti dinas sosial, dinas
kesehatan, dan dinas pendidikan dan kebudayan. Sementara itu, DPRD bisa
melakukan pengawasan atas implementasi pendataan, maupun validitas data
yang dihasilkan. Dengan demikian, kehadiran DPRD bisa dirasakan
masyarakat, bukan hanya memanfaatkannya ketika hajat an demokrasi lima
tahun.
Akhirnya, akses pendidikan bagi orang
miskin harus dibuka seluas-luasnya. Melalui strategi itu, jurang
kesenjangan pendidikan diharapkan tidak membentang lebar. Itu menjadi
penting mengingat dalam hitungan tahun, bonus demografi akan segera
dipanen bangsa ini. Apa jadinya di saat kita menuai bonus demografi,
ketimpangan pendidikan kita masih menganga lebar? Jelas kita hanya akan
memanen bonus demografi yang tidak berkualitas, tidak kompeten, bahkan
hanya akan menjadi penyebab masalah. Ketimpangan tidak akan terjadi jika
akses pendidikan dibuka seluas-luasnya bagi semua anak bangsa, saat
pemerintah bersama stakeholder pendidikan senantiasa konsisten dalam
mengeluarkan kebijakan. Semoga.
0 komentar:
Post a Comment